Impor Melimpah, 188 Perusahaan Tekstil Bangkrut 

Hal ini berdampak pada PHK 68 ribu buruh tekstil di Jabar

Bandung, IDN Times - Mudahnya barang impor masuk ke Indonesia mulai terasa berdampak pada anjloknya perdagangan produk dalam negeri. Salah satu yang terjadi di industri tekstil.

Berdasarkan data Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans), hingga kuartal III 2019, terdapat 188 perusahaan tekstil dan produk tekstil di Jawa Barat (Jabar) gulung tikar atau relokasi dari wilayah Jabar. Hal itu menyebabkan 68 ribu buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Tim Akselerasi Jabar Juara untuk Bidang Ketenakerjaan Disnakertrans Provinsi Jawa Barat Hemasari Dharmabumi mengatakan, keran impor tekstil dari Cina sudah terlalu membanjiri pasar-pasar di Indonesia. Di sisi lain, industri tekstil dalam negeri pun tertekan karena sulit untuk bersaing dengan mesin-mesin produksi yang tegolong tua.

"Industrinya sudah tidak sesuai, bahkan pada 2019 ternyata masih ada alat tenun yang dipakai oleh pabrik garmen di sana yang buka mesin," katanya sela-sela acara Jabar Punya Informasi (Japri) di Gedung Sate Bandung, Jumat (4/10).

1. Pabrik yang gulung tikar mayoritas pindah ke Jawa Tengah

Impor Melimpah, 188 Perusahaan Tekstil Bangkrut Dok.IDN Times/Istimewa

Hema mengatakan, kebanyakan perusahaan garmen di Jabar yang gulung tikar itu berasal di wilayah Majalaya, Kabupaten Bandung. Kebanyakan, perusahaan yang relokasi berpindah ke Jawa Tengah. Salah satu alasan pemilihan pindah ke provinsi lain karena pengupahan di Jawa Tengah masih lebih murah dibandingkan di Jawa Barat.

Melihat kondisi ini, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jabar telah melakukan berbagai upaya agar keberadaan pabrik tekstil yang ada saat ini tidak gulung tikar seperti kebijakan pengupahan. Kebijakan ini sedang diupayakan dengan menggalang seluruh stakeholder di bidang garmen.

"Saat ini perusahaan ada perkumpulan baru yaitu Perkumpulan Perusahaan Tekstil Jabar yang anggotanya sudah 340 pabrik garmen," katanya.

Pihaknya juga mendorong agar serikat pekerja perusahaan garmen memiliki keanggotaan yang cukup agar membuat "Rembug Jabar" untuk menyelamatkan industri tekstil dan garmen. Kegiatan ini dilakukan untuk menyelematkan industri tekstil dan garmen tersebut bentuknya LKS Tripartit Sektoral.

2. Pemerintah harus segera menutup keran impor tekstil

Impor Melimpah, 188 Perusahaan Tekstil Bangkrut IDN Times/Debbie Sutrisno

Sementara itu, Ketua Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (Ikatsi) Suharno Rusdi, mengatakan saat ini industri dalam negeri terutama tekstil harus bersaing dengan serbuan produk impor yang membanjiri pasar Indonesia. Dengan harga yang lebih murah, masyarakat lebih memilih produk tersebut padahal kualitasnya belum tentu lebih bagus dari produk buatan pabrik tekstil lokal.

Suharsono pun meminta pada pemerintah agar bisa lebih giat melakukan pengawasan dan bisa tegas untuk meminimalisasi produk luar negeri. Jangan sampai produk yang sejenis buatan dalam negeri justru kalah bersaing dengan barang impor.

"Maka harus ada penjagaan ketat, kalau bisa pajak bea masuk itu dinaikkan," katanya.

3. Pemerintah segera audit kapasitas produksi tekstil

Impor Melimpah, 188 Perusahaan Tekstil Bangkrut (Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita) ANTARA FOTO/M. Agung Rajasa

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan melakukan audit kapasitas produksi dan kebutuhan bahan baku industri tekstil yang ada di Indonesia, dikarenakan derasnya impor produk tekstil asal luar negeri yang masuk ke dalam negeri.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, jajarannya akan menggandeng Kementerian Perindustrian, Bea Cukai, termasuk para pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi pertekstilan di dalam negeri dan berada dalam satuan tugas (satgas).

"Kami bersama-sama akan melakukan audit, berapa kapasitas, dan kebutuhan untuk bahan baku," kata Enggartiasto dilansir Antara.

Menurutnya, potensi kebocoran produk impor ke Indonesia tersebut, ditengarai berasal dari adanya industri dalam negeri yang tidak jujur dalam melaporkan kapasitas produksi.

Dalam waktu lebih dari tujuh bulan terakhir, lanjut Enggartiasto, pihaknya tidak pernah mengeluarkan izin impor tekstil bagi pemilik Angka Pengenal Importir Umum (API-U). Izin impor hanya diberikan kepada pemilik API Produsen (API-P).

"Sudah lebih dari tujuh bulan ini tidak ada izin impor keluar, kok banjir di pasar," kata Enggartiasto.

Izin yang diberikan kepada pemilik API-P, lanjut Enggartiasto, tidak bisa dihentikan begitu saja. Karena, impor yang dilakukan memang diperlukan untuk pemenuhan bahan baku, yang nantinya produk hasil industri itu diekspor ke luar negeri.

4. Banyak industri tidak jujur buat sektor ini bermasalah

Impor Melimpah, 188 Perusahaan Tekstil Bangkrut ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya

Banyaknya produk impor yang masuk diakui telah berdampak negatif bagi industri tekstil ke pasar dalam negeri. Ia menyatakan, memang masih banyak industri yang tidak jujur mengenai kapasitas industrinya.

Terlebih, saat ini telah dilakukan penyederhanaan kode Harmonized System (HS) dari 12 digit menjadi delapan digit, yang berarti ada penggabungan produk.

Industri dalam negeri yang memproduksi serat dan benang tengah digempur produk impor kain akibat adanya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil.

Dengan adanya kebijakan tersebut, dinilai memberi kesempatan besar bagi importir untuk mengimpor tekstil dan produk tekstil (TPT). Jika hal tersebut terus berlanjut, diperkirakan bakal menekan industri TPT dalam negeri.

Baca Juga: Pemindahan Industri Tekstil ke Segitiga Rebana Butuh SDM Mumpuni

Baca Juga: Penutupan IPAL Pabrik Tekstil Secara Paksa Bukan Solusi Atasi Citarum

Topik:

  • Galih Persiana

Berita Terkini Lainnya