8 Hoaks seputar COVID-19 yang Bertebaran, Cek Kebenarannya di Sini

Jangan mudah tertipu sebelum tahu faktanya!

Sudah lebih dari 8 bulan lamanya sejak kasus COVID-19 pertama di Indonesia diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020. Hingga kini, kita masih berperang melawan penyakit akibat virus corona strain baru, SARS-CoV-2, tersebut.

Ancaman yang harus kita hadapi bukan hanya penularan penyakit, tetapi juga penyebaran hoaks alias berita bohong tentang COVID-19 yang selain menyesatkan, juga membahayakan.

Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyatakan pada Februari 2020 bahwa dunia tidak hanya menghadapi pandemik, tetapi juga "infodemi", yaitu penyebaran informasi palsu yang tidak kalah cepat dan berbahaya seperti COVID-19. Oleh karena itu, upaya media dan pemerintah dalam menangani hoaks juga termasuk penting dalam menanggulangi COVID-19.

Mengutip data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo) tahun 2019, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), dr. Mahesa Paranadipa Maikel, M. H., menyatakan bahwa hoaks mengenai kesehatan duduk di urutan ke-3, didahului oleh hoaks mengenai politik dan pemerintahan.

8 Hoaks seputar COVID-19 yang Bertebaran, Cek Kebenarannya di SiniIlustrasi: Berita hoaks. pixabay.com/pixabay

Menjabat juga sebagai Ketua Satuan Tugas Penanggulangan COVID-19 di RS Haji Jakarta, dr. Mahesa mengatakan bahwa terdapat tiga motivasi dari hoaks tentang kesehatan, yaitu kampanye anti medikalisasi, bisnis, dan kritik terhadap pemerintah. Berbagai hoaks tersebut dapat berbentuk:

  • Tips kesehatan, kecantikan, dan kosmetik;
  • Resep tradisional atau herbal untuk kesehatan, kebugaran, vitalitas;
  • Penemuan terbaru untuk pengobatan penyakit yang sulit disembuhkan;
  • Hasil penelitian yang melawan fatsun (etika atau sopan santun) pengobatan atau perawatan kesehatan saat ini; 
  • Informasi yang mencengangkan, seolah-olah bertentangan dengan pengetahuan publik.

Pada dasarnya, kesehatan adalah "ladang subur" untuk hoaks karena kepolosan masyarakat mengenai dunia kesehatan. Namun, apakah salah masyarakat sepenuhnya jika percaya hoaks? Dokter Mahesa mengatakan tidak. 

Terutama di tengah pandemik COVID-19, beberapa oknum memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat dan menyebarluaskan berita bohong atau berita yang tidak jelas kebenarannya. Apa saja hoaks seputar COVID-19 yang beredar? Inilah beberapa di antaranya, simak kebenarannya, ya!

1. "Kasus terus naik, tetapi tingkat kematian rendah. Berarti, COVID-19 tidak berbahaya!"

8 Hoaks seputar COVID-19 yang Bertebaran, Cek Kebenarannya di SiniIlustrasi. Makam-makam baru tampak di pemakaman COVID-19 di TPU Jatisari Mijen Semarang. IDN Times/Anggun Puspitoningrum.

Banyak masyarakat yang bingung mengapa angka kasus terkonfirmasi mencapai ribuan, sementara tingkat kematian tetap terpantau rendah dan jumlah korban meninggal karena COVID-19 tetap fluktuatif di angka puluhan atau seratusan.

Untuk hal ini, dr. Mahesa memberikan rumus untuk menghitung angka persentase kematian, yaitu jumlah kematian dibagi jumlah kasus positif dikali 100.

"Jadi, bisa jadi angka positif meningkat drastis tapi jumlah kematian tidak bertambah, (sehingga) menyebabkan persentase kematian jadi menurun," ujar dr. Mahesa saat dihubungi oleh IDN Times pada Senin (9/11/2020).

Ia kemudian memberi contoh, kalau di satu provinsi pada Desember memiliki kasus 100 dan angka kematian 5, maka persentase mortalitas adalah 5 persen. Akan tetapi, jika kasus bertambah dua kali lipat jadi 200 dan kematian tetap stagnan, maka persentase kematian berkurang jadi 2,5 persen.

"Ada provinsi lain yang jumlah kasusnya menurun, tapi jumlah kematian bertambah, maka angka kematian juga meningkat. Pernah kasus di Bali, 1 kasus positif lalu pasiennya meninggal, maka angka kematian 100 persen," papar dokter yang telah menyelesaikan pendidikan hukum kedokterannya di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.

2. Jawa Barat jadi target vaksin COVID-19 pertama?!

8 Hoaks seputar COVID-19 yang Bertebaran, Cek Kebenarannya di SiniHoaks JaBar penerima vaksin pertama. kominfo.go.id

Mengutip laman resmi Kominfo pada tanggal 3 November 2020, terdapat sebuah hoaks di media sosial yang mengatakan bahwa vaksin COVID-19 akan muncul secara perdana untuk Jawa Barat dan ganjaran denda bila menolak! Hoaks tersebut memuat pernyataan dalam Bahasa Indonesia dan Sunda, yaitu:

"Jawa Barat akan menjadi Provinsi Pertama yang akan mendapat atau menguji test Vaksin VIRUS KORONA dari Cina.. Tapi yang tidak mau di vaksin akan di denda...

Urang daek divaksin asal dibere duit minimal 10 jt weh ngan pemerintah jawa barat na daeken henteu mere duit ka urang na? (Saya mau divaksin asal dikasih uang 10 juta. Tapi pemerintah Jabar mau enggak kasih duit ke saya?)"

Faktanya, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Prof. drh. Wiku Adisasmito, MSc. Ph.D., menyatakan belum ada daerah yang diprioritaskan untuk menerima vaksin COVID-19 dan alokasinya pun masih dibahas oleh pemerintah pusat.

Baca Juga: Metformin Ditarik karena Tercemar NDMA, Ini Tanggapan Farmakolog

3. Social distancing malah membuat imun lemah?

8 Hoaks seputar COVID-19 yang Bertebaran, Cek Kebenarannya di SiniAntrean di Kantor Cabang BPJS Jakarta Pusat (Dok. BPJS)

Perlu diingatkan, terdapat protokol 3M, yaitu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak (social distancing). Jadi, tak ada hubungannya sistem imun dan social distancing. Malah itu bisa membantu mencegah penularan COVID-19.

Dokter Mahesa pun menyarankan hal yang sama. Dikarenakan SARS-CoV-2 menyebar melalui tetesan kecil (droplet) dari batuk, bersin, tertawa, hingga bicara, maka social distancing amat disarankan sebagai strategi pencegahan infeksi, sambil menunggu vaksin COVID-19 yang aman diproduksi dan disebarluaskan.

"Strategi perlindungan rakyat, harusnya, tetap mencegah terjadinya penularan hingga ada vaksin yang sudah terbukti efektif dan telah dinyatakan aman diberikan kepada masyarakat," papar dr. Mahesa yang juga adalah Anggota Tim Gugus Tugas Pencegahan Penyebaran COVID-19 di Lingkungan Kementerian Agama RI.

4. Salah satu pendiri "Aliansi Dokter Dunia" ditangkap karena video hoaks soal COVID-19?

8 Hoaks seputar COVID-19 yang Bertebaran, Cek Kebenarannya di SiniHoaks dr. Heiko Schoning saat ditangkap di Hyde Park. kominfo.go.id

Pada 4 November 2020, Cek Fakta Tempo merilis peringatan hoaks di Facebook mengenai video yang beredar tentang ditangkapnya salah satu pendiri Aliansi Dokter Dunia (WDA) asal Jerman, dr. Heiko Schoning. Bersama video tersebut, terdapat pernyataan bahwa ia ditangkap karena menyebar video hoaks mengenai COVID-19. Apakah betul?

Setelah melakukan penelitian mendalam, tim Cek Fakta Tempo membantah hal tersebut. Ternyata, dr. Heiko ditangkap di Hyde Park, London, Inggris, karena ikut demonstrasi menentang kebijakan karantina wilayah (lockdown) pada 26 September 2020, bukan karena menyebar video hoaks COVID-19. Sekadar informasi, WDA baru berdiri pada 10 Oktober 2020 lalu.

Inilah video penangkapan dr. Heiko Schoning di Hyde Park berdurasi penuh yang diunggah oleh Active Patriot UK.

https://www.youtube.com/embed/KZtpA_52FSw

5. Hewan bisa menyebarkan dan mati karena COVID-19? Hoaks kematian hewan akibat COVID-19 di Bekasi

8 Hoaks seputar COVID-19 yang Bertebaran, Cek Kebenarannya di SiniIlustrasi HOAX. IDN Times/Ervan Masbanjar

Pada April 2020 lalu, dunia sempat dikejutkan saat seekor anjing di Hong Kong dites positif COVID-19. Kabar tersebut membuat banyak orang yang percaya bahwa SARS-CoV-2 bisa ditularkan dari hewan ke manusia. Meskipun ini masih diteliti, tetapi dr. Mahesa menyarankan agar kita menjaga interaksi dengan hewan untuk mencegah potensi penularan yang tak terduga,

Pada 7 Maret 2020, Kominfo kembali membantah sebuah hoaks tentang kematian hewan akibat COVID-19 di Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat pada 3 Maret 2020. Disebarkan di Facebook, foto berisi petugas kesehatan lengkap dengan alat pelindung diri (APD) tengah memeriksa bangkai hewan ditemani dengan caption, "Corona nih".

Menurut pernyataan Kepala Seksi Pengamatan dan Pemberantasan Penyakit Hewan (P3H) Dinas Pertanian Kabupaten Bekasi, Dwiyan Wahyudiharto, setelah bangkai hewan tersebut menjalani rapid test, ternyata hasilnya negatif. Usai diperiksa, hewan tersebut diketahui mati karena keracunan.

6. BPOM menghalang-halangi vaksin?

8 Hoaks seputar COVID-19 yang Bertebaran, Cek Kebenarannya di SiniHoaks BPOM halangi vaksin COVID-19. kominfo.go.id

Pada 3 November 2020, Kominfo kembali menemukan hoaks mengenai vaksin COVID-19 di Facebook. Hoaks tersebut menuduh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menghalang-halangi pemberian vaksin COVID-19 ke Indonesia. Status tersebut berbunyi:

"Vaksin korona sudah siap diberikan, eh skrg terhalang oleh BPOM".

Memang, sampai sekarang BPOM belum memberikan pernyataan untuk vaksin COVID-19. Akan tetapi, bukan menghalang-halangi, melainkan BPOM butuh data mengenai kualitas, keampuhan, dan keamanan vaksin untuk mengeluarkan izin emergency use authorization (EUA).

Menanggapi rumor tersebut, dr. Mahesa mengingatkan bahwa BPOM pun juga perlu aktif menangani hoaks dengan merilis pernyataan resmi mengenai hal tersebut.

"Rumor ini harus segera diklarifikasi oleh BPOM. Pernyataan resmi cukup untuk mengantisipasi rumor," kata dr. Mahesa.

7. Warga Korsel meninggal karena vaksin COVID-19?

8 Hoaks seputar COVID-19 yang Bertebaran, Cek Kebenarannya di SiniHoaks 48 warga Korsel meninggal akibat vaksin COVID-19. medcom.id

Pada 31 Oktober 2020, Kominfo juga berurusan dengan penyebaran hoaks di Facebook mengenai 48 warga Korea Selatan (Korsel) yang dikatakan meninggal setelah disuntik vaksin COVID-19. Disebarkan pada 29 Oktober 2020, unggahan tersebut mengandung tautan yang bertuliskan, "Innalilahi Wainnailahi Rojiun, 48 Orang Meninggal Usai Divaksin Corona".

Setelah ditelusuri, ternyata 48 warga Korsel yang meninggal tersebut bukan karena vaksin COVID-19, melainkan vaksin flu. Direktur Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (KDCA), Jeong Eun-kyung, mengonfirmasi 48 korban vaksin flu di Korsel pada 24 Oktober 2020.

Apakah serta-merta vaksin flu berbahaya? Tidak! Setelah diteliti kembali, penyebab kematiannya pun bukan karena vaksin, melainkan karena penyakit penyerta yang diderita penerima vaksin.

8. Tuduhan rumah sakit meng-COVID-kan pasien demi imbalan uang dari pihak yang tidak diketahui

8 Hoaks seputar COVID-19 yang Bertebaran, Cek Kebenarannya di SiniIlustrasi: Dunia kedokteran dan uang. debt.org

Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan RI, Moeldoko, dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, sempat mengeluarkan tuduhan pada rumah sakit yang sengaja memberi status positif COVID-19 kepada sembarang orang demi mendapatkan imbalan dan insentif.

Tidak menutup kemungkinan terjadinya praktik ilegal dan tidak manusiawi tersebut, dr. Mahesa mengatakan, bahwa perlu adanya investigasi dan bukti konkret mengenai lokasi rumah sakit dan terjadinya praktik diagnosis COVID-19 yang tidak sesuai prosedur. Dengan bukti yang cukup, baru kejahatan tersebut bisa ditindak, diberi sanksi, dan hasilnya dibuka kepada publik.

Akan tetapi, jika hal tersebut tidak memiliki dasar yang kuat, dr. Mahesa mengatakan bahwa tidak pantas tuduhan tersebut digaungkan kepada masyarakat karena dapat menggerus kepercayaan mereka terhadap tenaga medis Indonesia. Kalau begitu pun, bahkan jika vaksin yang autentik dirilis, maka tidak akan ada yang percaya.

"Jika terbukti benar ada proses diagnosis COVID-19 yang ditegakkan tanpa mengikuti prosedur, maka harus ada sanksi bagi rumah sakit tersebut. Hal ini harus dibuka ke publik. Tapi, jika tidak ada bukti yang jelas, sebaiknya tidak dilontarkan ke publik karena dikhawatirkan malah menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pelayanan rumah sakit, sehingga menimbulkan dampak yang lebih besar," papar dr. Mahesa.

8 Hoaks seputar COVID-19 yang Bertebaran, Cek Kebenarannya di Sinifreepik.com/vectorjuice

Itulah beberapa hoaks seputar COVID-19 yang beredar beberapa waktu belakangan. Seperti yang terlihat, mayoritas hoaks disebarkan melalui media sosial.

Menurut Hootsuite tahun 2018, sebanyak 130 juta orang Indonesia menghabiskan waktu lebih dari 3 jam berkutat dengan gawai, sementara hoaks tersebar mayoritas lewat media sosial. Kominfo dan Dewan Pers Indonesia tahun 2018 sempat menyatakan bahwa mayoritas hoaks tersebar lewat Facebook dan aplikasi pesan WhatsApp.

Dengan kata lain, hoaks bukan "perang" individu saja. Butuh "estafet informasi" dengan bahasa yang lebih komprehensif dari pemerintah ke unsur-unsur masyarakat lainnya agar hoaks bisa segera ditanggulangi sebelum menyebar luas. Salah satunya adalah dengan menggunakan figur publik seperti influencer atau tokoh masyarakat

"Kita nggak bisa salahkan masyarakat, karena memang penangkapan pesan di masyarakat bisa berbeda-beda jika pemberi informasi nggak lengkap atau sulit dicerna," papar dr. Mahesa.

8 Hoaks seputar COVID-19 yang Bertebaran, Cek Kebenarannya di SiniIlustrasi: Baca berita hoaks. pixabay.com/rawpixel.com

Jikalau hoaks politik dan pemerintah bisa mengancam persatuan, hoaks kesehatan sebenarnya lebih berbahaya karena nyawa taruhannya, terutama di masa pandemik. Untuk mencegah hoaks, dr. Mahesa memberikan kiat-kiat berikut:

  • Hati-hati dengan judul provokatif;
  • Cermati alamat situs;
  • Periksa fakta;
  • Cek keaslian foto; 
  • Ikut serta grup-grup anti hoaks.

Jika muncul kabar bohong atau yang tak jelas kebenarannya, hentikan dulu di dirimu, jangan langsung disebarkan. Manfaatkan internet untuk cek kebenarannya. Selanjutnya, laporkan hoaks tersebut ke aduankonten@mail.kominfo.go.id agar bisa dikonfirmasi dan diklarifikasi. Selain itu, aparat berwenang pun harus siap bertindak dengan inisiatif.

"Aparat penegak hukum harus sigap melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus hoaks yang sudah beredar di masyarakat tanpa harus menunggu pengaduan," kata dr. Mahesa menutup perbincangan.

Baca Juga: Perangi Artikel Hoaks COVID-19, Ini 5 Tips agar Tidak Mudah Tertipu

Topik:

  • Nurulia
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya