Pelonggaran PSBB Dinilai sebagai Kegagalan Pemerintah Melindungi Warga
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Koalisi Masyarakat Sipil menolak dengan tegas rencana pelonggaran (Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diinisiasi oleh pemerintah. Sebab, hal itu dinilai tidak memiliki dasar ilmiah dan tanpa data.
Bahkan, rencana tersebut dinilai lebih mengandung kepentingan politik dibandingkan kepentingan masyarakat.
"Kebijakan politik untuk masalah kedaruratan kesehatan masyarakat tanpa data kesehatan masyarakat sebagai pertimbangan utama adalah wujud kegagalan pemerintah melindungi warga," ujar Koalisi Masyarakat Sipil melalui keterangan tertulis yang diterima IDN Times pada, Senin (18/5).
1. Bisa menimbulkan kematian, pelonggaran PSSB sama dengan pelanggaran HAM
Ia mengatakan, dalam kaca mata hukum, rencana pelonggaran PSSB yang dinilai tanpa dasar ilmiah dan data sebagai bukti adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebab, hal itu dianggap dapat menimbulkan meningkatnya angka kematian akibat COVID-19.
"Karenanya, akibat yang menyertai kebijakan adalah menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pembuat kebijakan, termasuk kematian warga sebagai akibat pelonggaran karantina kesehatan ini," ujarnya.
Baca Juga: DPRD Minta Pemprov DKI Bersiap Longgarkan PSBB di Jakarta
2. Pemerintah dinilai menonjolkan kebijakan pelonggarann PSSB di negara lain untuk diterapkan di Indonesia
Koalisi Masyarakat Sipil juga menilai pemerintah sengaja mengambil hasil survei dan menonjolkan kebijakan di negara-negara lain tentang mulai dibukanya karantina kesehatan. Hal itu pun dinilai mengandung sesat pikir.
Editor’s picks
"Disengaja untuk menggiring opini dan framing warga bahwa sudah saatnya sekarang membuka kekarantinaan kesehatan. Perbandingan pastilah harus yang setara atau ekuivalen, misal tidak mungkin membandingkan rasa lezat kari kambing dengan buah mangga," jelasnya.
Padahal, lanjutnya, langkah negara lain mengambil kebijakan itu berdasarkan kurva epidemiologi COVID-19 per harinya yang telah menurun. Selain itu, negara lain juga telah melalukan tes massal secara masif untuk mengindentifikasi kasus positif COVID-19, tetapi Indonesia belum.
"Negara-negara tersebut bahkan sudah jauh lebih lama melakukan lockdown, sesuatu yang Indonesia selalu hindari dengan berbagai alasan. Dari data yang belum diketahui validitasnya karena sangat sedikit dibandingkan jumlah penduduk saja kurva Indonesia belum menurun malahan naik terus, demikian pula dengan persentase penularan per harinya," katanya.
3. Angka pemeriksaan spesimen di Indonesia dinilai masih di bawah rata-rata apabila dibandingkan dengan ASEAN
Koalisi Masyarakat Sipil menilai angka pemeriksaan spesimen untuk COVID-19 di Indonesia masih di bawah rata-rata apabila dibandingkan dengan ASEAN. Tingkat tes di Indonesia adalah 628 per 1 juta penduduk.
"Bandingkan dengan Singapura 30.000 per satu juta penduduk dan Malaysia yang mencapai 7500 per 1 juta penduduk. Belum semua provinsi memiliki laboratorium dan tenaga yang siap untuk melakukan pengetesan," jelasnya.
4. Wilayah di Indonesia memiliki tingkat kedisiplinan dan waktu pelaksanaan berbeda
Ia juga menambahkan, PSBB di berbagai daerah memiliki variasi kedisiplinan serta pelaksanaan waktu yang berbeda. Misalnya saja, DKI Jakarta sudah mulai lebih dulu sementara Jawa Barat dan Gorontalo mulainya menyusul.
"Buka dan tutupnya kebijakan transportasi publik turut memberi andil akan perbedaan kualitas PSBB di berbagai daerah," katanya.
"Oleh karena itu, menyamakan situasi Indonesia dengan negara-negara lain yang sudah jauh lebih dulu menerapkan PSBB dengan disiplin sangatlah di luar akal sehat," pungkasnya.
Baca Juga: Jokowi Minta Evaluasi Perbandingan Daerah Non-PSBB dan PSBB