Bandung, IDN Times - Fenomena penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mata uang seluruh dunia semakin memperdalam jurang inflasi secara global dan juga meningkatkan risiko resesi global 2023.
Nilai tukar rupiah pada 28 November terkontraksi melemah 49,5 poin atau 0,32 persen ke posisi Rp 15.722 per 1 USD.
Adapun kenaikan dolar Amerika Serikat beberapa pekan terakhir disebabkan oleh beberapa faktor. Keputusan menaikkan suku bunga yang dilakukan Bank Sentral Amerika Serikat sepanjang tahun 2022 menjadi salah satunya.
Bank Sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga tahun ini demi mengatasi kenaikan harga. Akibatnya, banyak investor mulai mencairkan produk investasi keuangan seperti obligasi pemerintah Amerika Serikat yang dinilai sangat menguntungkan ketika suku bunga naik.
Terbukti pada Juli 2022 saja, investor asing yang membeli obligasi pemerintah AS senilai 10,2 miliar USD (Rp154 triliun), sekarang nilainya naik menjadi 7,5 triliun USD (Rp113 kuadriliun).
Masalahnya, untuk membeli obligasi, investor harus membeli dolar AS terlebih dahulu, sehingga permintaan terhadap dolar AS semakin meningkat.
Investor juga cenderung membeli dolar sebagai “safe heaven” atau aset yang aman saat ekonomi sedang tidak stabil. Ditambah banyaknya negara di Eropa dan Asia yang sedang berjuang bangkit dari inflasi, belum lagi konflik Ukraina yang masih berkepanjangan.
Sebagai salah satu negara yang terkena imbas dari peningkatan nilai dolar AS, ada beberapa dampak yang dirasakan langsung oleh masyarakat Indonesia.
Salah satunya, harga kebutuhan yang komponennya masih tergantung impor dipastikan akan melonjak karena bertransaksi menggunakan mata uang dolar AS.
Meski penurunan nilai rupiah merupakan tanggung jawab pemerintah, namun masyarakat Indonesia dapat berkontribusi dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Lantas, apa saja sikap yang harus diambil pemerintah untuk merespons fenomena tersebut? Ini tiga hal yang dapat menjadi pilihan versi Grant Thornton Indonesia: