Industri Batik Cirebon Melawan Gempuran Produk Tekstil

Cirebon, IDN Times - Industri batik di Kabupaten Cirebon menghadapi berbagai tantangan yang berpotensi mengancam keberlanjutan usaha para pengrajin batik.
Salah satu tantangan terbesar adalah masuknya produk tekstil bermotif batik yang dijual dengan harga lebih murah karena menggunakan teknik cetak mesin. Hal ini berbeda dengan batik tulis atau batik cap khas Cirebon yang diproduksi secara manual dan membutuhkan waktu lebih lama.
1. Jumlah pengrajin batik terus berkurang

Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha dan Pengrajin Batik Indonesia (APPBI), Komarudin Kudiya, kehadiran tekstil bermotif batik ini berdampak signifikan pada pasar batik tradisional.
"Produk tekstil bermotif batik kini mudah ditemukan di mana-mana, dengan harga yang jauh lebih terjangkau. Konsumen seringkali memilih produk tersebut tanpa mengetahui perbedaan kualitas dan keaslian motif,” kata Komarudin saat ditemui dalam acara CSR Oreo Berbagi di Cirebon, Senin (11/11/2024).
Ia juga menjelaskan, tidak semua konsumen bisa membedakan batik tulis asli dengan produk cetak. Akibatnya, pasar untuk batik tulis dan cap Cirebon semakin tertekan oleh persaingan harga.
Komarudin menyatakan, meski kondisi ini berat bagi pengrajin, ia optimistis kalau batik Cirebon masih memiliki pasar tersendiri yang setia pada kualitas dan keasliannya. “Kami yakin batik Cirebon akan tetap diminati meski produk tekstil bermotif batik terus membanjiri pasar,” tambahnya.
Selain persaingan produk, industri batik Cirebon juga mengalami krisis regenerasi pembatik. Jumlah pembatik semakin berkurang karena generasi muda lebih memilih bekerja di bidang lain yang dianggap lebih menjanjikan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pembatik di Kabupaten Cirebon saat ini hanya sekitar 4.707 orang, mengalami penurunan 30% dibandingkan tahun sebelumnya.
Komarudin mengungkapkan, tantangan terbesar adalah menemukan penerus yang bersedia melanjutkan tradisi membatik.
“Anak-anak muda di sini kurang tertarik membatik. Mereka merasa pekerjaan ini melelahkan dan penghasilannya tidak sebanding. Kebanyakan lebih memilih bekerja di sektor ritel atau pabrik,” jelasnya.
Ia juga menambahkan, sebagian besar pembatik di Cirebon saat ini sudah berusia di atas 40 tahun. Jika tidak ada regenerasi, industri batik Cirebon dikhawatirkan akan kehilangan identitasnya seiring waktu.
Padahal, motif-motif batik Cirebon seperti Mega Mendung dan Singa Barong sudah menjadi ikon budaya lokal yang dikenal di tingkat nasional dan internasional.
2. Motif Mega Mendung jadi kemasan edisi khusus

Sebagai bentuk dukungan untuk melestarikan batik Cirebon, perusahaan biskuit Oreo dari Mondelez Indonesia mengadakan program CSR bertajuk “Oreo Berbagi.” Program ini ditujukan untuk membantu 1.400 pengrajin dan pengusaha batik di wilayah Cirebon.
Head of Corporate Communications and Government Affairs Mondelez Indonesia, Khrisma Fitriasari, mengatakan, inisiatif ini adalah bagian dari komitmen perusahaan untuk turut melestarikan budaya Indonesia.
“Kami merasa bertanggung jawab untuk ikut menjaga kekayaan budaya Indonesia, termasuk batik, sebagai warisan yang sangat berharga. Oreo Berbagi ini merupakan bentuk dukungan kami agar batik tetap dilestarikan dan bisa dinikmati di dalam dan luar negeri,” tutur Khrisma.
Bantuan yang diberikan oleh Oreo berupa alat-alat produksi batik dan paket pengembangan usaha yang dirancang untuk meningkatkan produktivitas serta manajemen bisnis pengrajin.
Total donasi dalam program ini mencapai lebih dari satu miliar rupiah. Selain itu, Oreo juga menampilkan motif Mega Mendung khas Cirebon pada kemasan edisi khusus mereka sebagai bentuk apresiasi terhadap budaya lokal.
“Kami ingin menginspirasi para pengrajin dan pengusaha batik, khususnya di Cirebon, agar terus melestarikan batik nusantara. Kami berharap inisiatif ini dapat mengajak berbagai pihak untuk turut mendukung perkembangan industri batik di Indonesia,” ujar Dian Ramaditani, Senior Marketing Manager Biscuits Mondelez Indonesia.
3. Permasalahan limbah jadi soal

Selain tantangan di bidang pasar dan regenerasi, industri batik Cirebon juga menghadapi masalah pengelolaan limbah, terutama limbah cair dari proses pewarnaan yang sering mengandung zat kimia berpotensi mencemari lingkungan.
Beberapa pabrik batik di Cirebon masih belum memiliki sistem pengelolaan limbah yang memadai sehingga limbah seringkali dibuang langsung ke lingkungan.
Sekretaris Daerah Kabupaten Cirebon, Hilmi Rivai, mengatakan bahwa pemerintah telah memberikan edukasi kepada pengrajin dan pemilik usaha agar lebih peduli terhadap pengelolaan limbah.
Pemerintah daerah juga tengah mencari solusi untuk membantu pengrajin dalam hal pengelolaan limbah, seperti melalui pelatihan dan pemberian alat pengolahan.
“Kami menghimbau para pelaku industri batik untuk mengolah limbah dengan benar agar tidak mencemari lingkungan. Namun, keterbatasan dana dan fasilitas masih menjadi kendala bagi sebagian pengrajin,” kata Hilmi.