Cirebon Masuk 5 Besar Kota Paling Cashless di Jawa Barat

- Aktivitas Ramadan dan promosi digital dorong lonjakan transaksi pembayaran digital
- Cirebon masuk 5 besar kota dengan jumlah merchant QRIS terbanyak di Jawa Barat
- Infrastruktur digital yang membaik dan peningkatan literasi masyarakat menjadi faktor utama kesuksesan Cirebon dalam transformasi digital
Cirebon, IDN Times- Kota Cirebon menegaskan posisinya sebagai salah satu poros ekonomi digital di Jawa Barat dengan pencapaian signifikan dalam adopsi sistem pembayaran nontunai.
Hingga kuartal pertama tahun 2025, tercatat lebih dari 360 ribu pelaku usaha di kota ini telah menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).
Hal ini menempatkan Cirebon dalam jajaran lima besar daerah dengan jumlah merchant QRIS terbanyak di provinsi tersebut.
Berdasarkan laporan terbaru Bank Indonesia Perwakilan Jawa Barat, transformasi digital Cirebon dipacu oleh berbagai faktor, mulai dari peningkatan transaksi selama Ramadan hingga masifnya kampanye ecommerce yang mendorong masyarakat beralih ke sistem pembayaran digital.
1. Aktivitas Ramadan dan promosi digital dorong lonjakan

Pertumbuhan merchant QRIS di Cirebon tidak lepas dari meningkatnya transaksi saat momentum Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Ramadan dan Idulfitri.
Aktivitas belanja daring melonjak tajam berkat promosi besar-besaran dari platform ecommerce yang menawarkan diskon, cashback, hingga program loyalitas pengguna.
“Situasi tersebut mempercepat adopsi pembayaran digital di kalangan UMKM dan konsumen,” ujar Kepala BI Jabar, Muhammad Nur, dalam laporan ekonomi digital regional.
Menurutnya, promosi ecommerce dan kebiasaan belanja daring yang terus meningkat telah menciptakan ekosistem digital yang semakin matang, termasuk di kota-kota luar metropolitan seperti Cirebon.
2. Lima besar Jawa Barat, Cirebon saingi kota besar

Secara statistik, Kota Cirebon menduduki posisi kelima dengan jumlah merchant QRIS sebanyak 362.352 unit. Kota ini berada di bawah Bandung (2,2 juta), Bekasi (1,29 juta), Bogor (1,08 juta), dan Depok (547 ribu).
Menariknya, Cirebon unggul dibandingkan Karawang (354 ribu), Sukabumi (328 ribu), dan Tasikmalaya (257 ribu) yang notabene memiliki wilayah lebih luas.
Meski jumlahnya belum menembus angka satu juta, posisi Cirebon menandakan bahwa kawasan pesisir ini punya daya saing tinggi dalam bidang digitalisasi ekonomi.
Keberhasilan ini banyak didorong oleh pelaku UMKM sektor kuliner, ritel, dan jasa yang kini aktif berjualan melalui marketplace maupun media sosial.
3. Infrastruktur dan literasi jadi pondasi utama

Keberhasilan Cirebon dalam menumbuhkan jumlah merchant QRIS juga disokong oleh membaiknya infrastruktur digital.
Ketersediaan akses internet yang semakin merata serta meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap teknologi keuangan menjadi dua pilar utama yang mempercepat transformasi.
"Digitalisasi tidak hanya terjadi di kota besar. Kota seperti Cirebon pun mulai menunjukkan tren positif," ungkap laporan BI tersebut.
Tingginya minat masyarakat terhadap transaksi digital memperkuat tujuan strategis digitalisasi ekonomi yang inklusif di tingkat daerah.
Tak hanya itu, pertumbuhan penjual daring di Jawa Barat juga meningkat 12,96% secara tahunan, jauh lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang hanya 8,05%. Ini mengindikasikan bahwa semakin banyak pelaku usaha mulai menganggap kanal digital sebagai jalur dagang utama.
Meski pencapaian Cirebon cukup menjanjikan, masih terdapat tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah menyasar pelaku usaha mikro di tingkat desa dan kelurahan yang belum seluruhnya memahami manfaat serta cara penggunaan QRIS.
Selain itu, integrasi sistem pembayaran QRIS dengan platform dagang lokal seperti aplikasi pasar digital milik pemerintah daerah juga belum optimal. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi stakeholder, termasuk pemda, perbankan, dan pelaku industri teknologi finansial.
Upaya bersama untuk meningkatkan literasi keuangan digital dianggap sudah berada di jalur yang tepat.
Namun ke depan, keberhasilan digitalisasi tidak hanya diukur dari jumlah merchant, melainkan juga dari kualitas transaksi serta kemampuannya dalam memberdayakan ekonomi lokal secara berkelanjutan.