Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi penyakit kanker (pixabay.com/PDPics)
ilustrasi penyakit kanker (pixabay.com/PDPics)

Intinya sih...

  • Sistem kesehatan perlu diperkuat dan dijadikan lebih inklusif

  • Reformasi biaya pendidikan kedokteran agar lebih terjangkau

  • Perbaiki akses terapi dan layanan kesehatan agar lebih terjangkau

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kanker Payudara dan PR Besar Sistem Kesehatan:

Ketika Akses Jadi Hak yang Tertunda

Di tengah kemajuan dunia medis, kanker payudara masih menjadi penyebab kematian utama perempuan di Indonesia. Sebuah ironi yang menunjukkan pentingnya deteksi dini dan dukungan sistem kesehatan nasional yang kuat dan adaptif. Data Global Cancer Observatory tahun 2022 menunjukkan bahwa kanker payudara menduduki peringkat pertama dengan jumlah kasus baru terbanyak di Indonesia, yakni 66.271 kasus atau sekitar 16,2% dari total 408.661 kasus kanker yang tercatat. Lebih dari sekadar angka, penyakit ini juga menjadi penyebab kematian tertinggi akibat kanker pada perempuan, melampaui kanker serviks dan ovarium.

praktisi sekaligus dosen Ilmu Penyakit Dalam dan konsultan Hematologi-Onkologi Medik di Universitas Sebelas Maret, Dr. Agus Jati Sunggoro, Sp.PD-KHOM, FINASIM, mengatakan tingginya angka kematian tersebut tak bisa dilepaskan dari rendahnya angka deteksi dini, dan sistem kesehatan nasional yang belum sepenuhnya adaptif dan masih memiliki tantangan dalam menjangkau akar permasalahan secara menyeluruh.

Banyak pasien datang berobat ketika kanker sudah memasuki stadium lanjut, umumnya stadium 3 atau 4. Salah satu penyebabnya adalah persepsi yang keliru di masyarakat: rasa takut, malu, atau bahkan enggan untuk memeriksakan diri sejak awal. Padahal, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menyediakan program skrining gratis untuk empat jenis kanker, termasuk kanker payudara, yang seluruh biayanya ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

Namun, menurut dr. Agus, ketersediaan program saja tidak cukup. Agar benar-benar berdampak, perlu dibarengi dengan upaya yang konsisten dan menyentuh akar persoalan, yaitu peningkatan kapasitas tenaga medis di layanan primer, distribusi pelatihan yang merata hingga ke pelosok, serta kampanye edukatif yang konsisten agar masyarakat memahami pentingnya deteksi dini.

Tak kalah pentingnya adalah keberlanjutan pendanaan program ini karena tanpa dukungan sistem yang kokoh, kebijakan akan sulit menjelma menjadi perubahan yang menyelamatkan nyawa, serta akses terhadap berbagai temuan pengobatan inovatif yang terus berkembang saat ini.

1. Bangun sistem kesehatan yang tangguh dan inklusif

ilustrasi sejarah kanker (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Sistem kesehatan nasional sejatinya telah mengalami sejumlah perbaikan, baik dari sisi akses layanan, jumlah dan distribusi SDM kesehatan, hingga transformasi digital lewat platform SATUSEHAT. Namun, masih terdapat ruang perbaikan agar sistem ini dapat lebih tangguh, inklusif dan merata.

Dr. Agus menekankan bahwa transformasi tidak cukup jika hanya bicara pengadaan obat-obatan, ataupun peralatan medis terbaru.

“Penguatan layanan primer, pendekatan multidisiplin yang terkoordinasi, pembiayaan yang lebih inklusif dan terjangkau, dan reformasi pendidikan kedokteran harus menjadi bagian dari solusi,” katanya.

Tanpa sistem kesehatan yang solid dan kolaboratif, upaya menyelamatkan nyawa pasien kanker akan sulit mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain.

Di negara-negara seperti Singapura dan Malaysia, pasien ditangani oleh tim lintas spesialisasi, memungkinkan pengobatan yang lebih komprehensif. Di Indonesia, model ini belum menjadi praktik umum. “Diperlukan kebijakan dari Kementerian Kesehatan yang mendorong adopsi pendekatan kolaboratif ini secara lebih luas,” tambahnya.

Dari sisi pembiayaan, Malaysia dinilai lebih efisien. Kebijakan seperti pembebasan atau keringanan bea masuk dan pajak untuk obat serta alat medis membuat biaya pengobatan lebih terjangkau. Sementara di Indonesia, struktur pajak yang berlaku masih berdampak pada tingginya biaya layanan.

Jika menilik alokasi anggaran dalam APBN, Indonesia memang masih memiliki tantangan. Pada 2025, anggaran kesehatan diproyeksikan baru mencapai 5–6%4 dari total APBN. Sebagai perbandingan, Malaysia pada 2024 telah mengalokasikan lebih dari 10%5, dan Singapura bahkan mencatat angka di atas 16%6. Ini menjadi peluang refleksi untuk memperkuat komitmen dalam membangun sistem kesehatan yang lebih responsif dan berdaya saing.

2. Reformasi biaya pendidikan kedokteran

Ilustrasi wanita sakit kanker (freepik.com/freepik)

Reformasi pendidikan kedokteran juga menjadi sorotan. Dr. Agus menilai pentingnya akses yang lebih luas dan biaya yang lebih terjangkau agar pendidikan tidak menjadi ruang eksklusif dan tetap berpijak pada semangat pelayanan.

Sementara itu, akses terhadap terapi inovatif di Indonesia masih belum merata. Obat-obatan modern umumnya baru dapat diakses oleh pasien dengan kemampuan finansial tinggi. Bahkan ketika regulasi sudah ada, implementasinya di lapangan kerap menghadapi kendala.

Salah satu contoh yang beliau soroti adalah Trastuzumab. “Obat ini sebetulnya sudah masuk FORNAS dan direkomendasikan untuk pasien stadium awal sebagai terapi pencegahan kekambuhan. Tapi di lapangan, BPJS baru menanggungnya untuk pasien stadium lanjut,” jelas dr. Agus.

Rumah sakit pun masih ragu menerapkan karena belum ada petunjuk teknis yang memastikan biaya akan ditanggung. Padahal saat ini sudah berkembang pengobatan inovatif yang lebih mutakhir yaitu Trastuzumab Deruxtecan (T-DXd). Berdasarkan uji klinis fase III DESTINY-Breast04, obat ini terbukti dapat memperpanjang median progression-free survival (angka ketahanan hidup tanpa progresi penyakit) pasien HER2-low menjadi 9,9 bulan—hampir dua kali lipat dibandingkan kemoterapi standar—dan meningkatkan angka keseluruhan harapan hidup hingga 23,4 bulan. 7 Obat ini telah tersedia di Indonesia, namun belum masuk dalam cakupan pembiayaan BPJS sehingga hanya dapat diakses oleh pasien yang memiliki kemampuan finansial.

3. Perbaiki akses terapi dan layanan kesehatan agar lebih terjangkau

Dengan pengetahuan, deteksi dini, dan keberanian untuk bertindak, kanker payudara bisa dilawan.(IDN Times/Foto : ilustrasi)

Sementara itu, EMR (56 tahun), penyintas kanker payudara yang telah menjalani pengobatan selama 16 tahun, turut membagikan pengalamannya dan mengatakan bahwa cukup banyak kemajuan yang ia rasakan dalam penanganan kanker di Indonesia dibandingkan saat ia pertama kali terdiagnosis pada 2010. Namun begitu tentunya masih ada ruang perbaikan yang perlu ditingkatkan khususnya dalam akses terapi dan fasilitas kesehatan yang lebih terjangkau dan komunikasi tenaga medis dengan pasien.

“Dulu akses informasi mengenai kanker payudara dan pengobatannya masih sangat terbatas. Sekarang, sumber informasi jauh lebih mudah diakses, apalagi dengan adanya komunitas pasien yang sangat membantu kami untuk saling berbagi pengalaman dan memperoleh edukasi terkini melalui seminar maupun kegiatan lainnya. Fasilitas kesehatan juga semakin lengkap, dengan hadirnya teknologi seperti PET Scan dan terapi target yang mendukung pasien mendapatkan deteksi dan pengobatan yang lebih tepat,” ucap EMR.

Meski demikian, EMR mengungkapkan harapannya. “Biaya pengobatan, seperti PET Scan dan terapi target, masih cukup berat bagi pasien karena belum sepenuhnya ditanggung BPJS. Semoga ke depannya ada dukungan yang membuat pengobatan lebih terjangkau. Bagi kami, komunikasi yang lebih hangat dan terbuka dari tenaga medis juga sangat berharga, agar pasien bisa memahami kondisinya dengan lebih jelas dan menjalani pengobatan dengan tenang.”

Sejatinya, memperoleh akses kesehatan yang layak merupakan hak dasar seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali—termasuk akses terhadap layanan yang merata serta pengobatan inovatif. Dengan sinergi seluruh pemangku kepentingan yang dimotori oleh negara, sistem kesehatan Indonesia diharapkan dapat terus diperkuat menjadi lebih inklusif, adaptif, dan berkelanjutan, sehingga setiap warga memiliki kesempatan yang setara untuk menjalani hidup yang sehat dan produktif.

Editorial Team