Cara Anak Muda Bandung Hindari Toxic Masculinity

Bandung, IDN Times - Di tengah perubahan sosial yang makin progresif, banyak dari kita mulai sadar bahwa tidak semua nilai yang diwariskan dari generasi sebelumnya cocok dipertahankan. Termasuk maskulinitas beracun atau toxic masculinity. Ini bukan berarti menjadi laki-laki adalah hal yang salah, tetapi ada sejumlah sikap dan pola pikir yang sering dianggap “laki banget” padahal justru merugikan diri sendiri dan orang lain.
Masalahnya, banyak dari kebiasaan ini berlangsung begitu halus dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita tidak menyadari bahwa kita sedang mendukung sesuatu yang membatasi, bahkan menyakiti.
Namun, beragam perubahan saat ini membuat kalangan laki-laki dari anak muda hingga dewasa mulai menyadari harus mampu menghindari maskulinitas beracun tersebut.
Salah satunya adalah Hamka Nova Karunia. Pemuda 18 tahun ini menilai bahwa maskulintas beracun memang sering dia dengar dan itu cukup tertanam di kepalanya. Kata-kata laki-laki tidak boleh cengeng sempat terjadi ketika dia berada di bangku sekolah menengah pertama (SMP) mendapat perundungan dari temannya. Meski sempat sedih atas perundungan tersebut, dia menekankan kepada diri sendiri bahwa laki-laki harus kuat hingga akhirnya perasaan kesal dia pendam sendiri.
"Pas dapat bully suka mikir emang saya kenapa gitu, sampai dibilang bodoh. Mikir di situ apakah emang bener pikiran orang ke saya seperti itu. Tapi yaudah lah saya ga pikir panjang, saya terima aja omongan dia tapi coba jangan jadi pikiran," ungkap Hamka saat berbincang dengan IDN Times, Jumat (20/6/2025).
1. Mencari sahabat untuk berbagi keluh kesah
Memasuki jenjang SMA, Hamka sudah mulai membiasakan diri untuk lebih terbuka pada urusan perasaan. Mencurahkan hati atau istilahnya curhat sudah bukan hal tabu dilakukannya kepada sahabat yang memang sudah berteman sejak lama. Menurutnya, curhat kepada sahabat lebih melegakan ketimbang kepada orang tua.
Musababnya, sahabat merupakan teman seumuran yang pasti lebih paham dengan situasi dirinya kala itu. Berbeda dengan orang tua yang umurnya jauh lebih tua sehingga terkadang tidak selalu sepemikiran dengan apa yang dipikirkan Hamka.
Ketika berbincang dengan orang tua, biasanya kita mendapatkan banyak masukan atau arahan hal tentang benar dan salah. Namun, ketika curhat kepada sahabat mereka biasanya lebih banyak mendengarkan ketimbang menasihati.
"Karena kadang kita hanya butuh curhat aja gitu, ga minta saran buat ini atau itu. Kita cukup didengar aja udah cukup," kata Hamka.
Meski demikian, dia pun tetap selalu berbincang dengan orang tua untuk berbagai urusan khususnya dalam pendidikan. Dan selama ini tidak ada hal yang dipaksanakan dari kedua orangtuanya untuk itu, sehingga Hamka bisa memilih akan melakukan apa dengan pendidikan yang dia pilih.