5 Bedanya Flexing dan Personal Branding, Gak Serupa dan Gak Sama

Setiap orang pasti ingin terlihat sukses dan punya citra positif di mata orang lain. Tapi, ada dua cara yang sering digunakan untuk mencapai itu: flexing dan personal branding.
Sekilas, keduanya mirip karena sama-sama menunjukkan pencapaian atau kelebihan seseorang. Tapi kalau diperhatikan lebih dalam, ada perbedaan besar yang bikin satu terlihat berkelas dan yang satu lagi malah bisa bikin ilfeel.
Sayangnya, banyak yang gak sadar kalau mereka sebenarnya sedang flexing, bukan membangun personal branding.
Di era media sosial seperti sekarang, perbedaan antara flexing dan personal branding jadi semakin kabur. Banyak yang berpikir kalau mereka sedang membangun citra profesional atau menunjukkan kesuksesan, padahal yang dilakukan lebih ke pamer hal-hal yang kurang relevan.
Tanpa disadari, cara ini justru bisa merusak reputasi sendiri. Makanya, penting buat tahu batasan antara keduanya supaya kamu gak terjebak dalam kebiasaan flexing yang justru bisa berdampak negatif ke jangka panjang.
Berikut lima perbedaan utama antara flexing dan personal branding yang perlu kamu pahami.
1. Tujuan di balik tindakan

Hal pertama yang membedakan flexing dan personal branding adalah tujuannya. Orang yang flexing biasanya hanya ingin pamer kekayaan, status, atau pencapaian tanpa ada niat untuk memberikan manfaat bagi orang lain.
Misalnya, mem-posting foto jam tangan mahal atau mobil mewah hanya untuk menunjukkan bahwa dia mampu membelinya. Tujuan utamanya lebih ke mendapatkan validasi dan pengakuan dari orang lain, bukan membangun sesuatu yang bernilai jangka panjang.
Sementara itu, personal branding punya tujuan yang lebih jelas dan berorientasi ke arah profesionalisme atau pengaruh positif. Seseorang yang membangun personal branding akan berbagi pengalaman, wawasan, atau keahlian yang bisa memberi inspirasi atau manfaat bagi orang lain.
Misalnya, seorang pengusaha sukses yang membagikan kisah perjalanan bisnisnya, termasuk tantangan dan strategi yang ia gunakan. Dengan begitu, orang lain bisa belajar dan mengambil nilai dari apa yang ia bagikan.
2. Fokus yang ditekankan

Flexing cenderung hanya fokus pada hasil akhir atau pencapaian yang terlihat, tanpa menunjukkan proses yang sebenarnya. Orang yang melakukan flexing sering menampilkan sisi glamor hidup mereka, seperti bepergian ke luar negeri, mengenakan pakaian mahal, atau makan di restoran mewah, tetapi tanpa konteks yang jelas.
Hal ini membuat audiens hanya melihat sisi permukaannya saja tanpa tahu usaha apa yang dilakukan untuk mencapai itu semua.
Sebaliknya, personal branding lebih menekankan pada proses dan nilai yang ada di balik pencapaian tersebut. Seorang profesional yang membangun personal branding akan menceritakan perjalanan mereka, termasuk kegagalan, tantangan, dan pembelajaran yang didapat.
Mereka tidak sekadar memamerkan hasil akhirnya, tapi juga membagikan wawasan yang bisa berguna bagi orang lain. Dengan cara ini, personal branding lebih terasa autentik dan punya dampak yang lebih besar.
3. Respons dari audiens

Salah satu cara paling mudah membedakan flexing dan personal branding adalah dari reaksi yang diberikan oleh orang lain. Flexing biasanya mendapat respons negatif seperti komentar sinis, nyinyiran, atau bahkan cibiran karena orang-orang melihatnya sebagai kesombongan yang gak punya manfaat nyata.
Hal ini sering terjadi karena konten yang dibuat lebih banyak mengarah ke pamer dibanding berbagi nilai yang bisa diterapkan oleh orang lain.
Di sisi lain, personal branding cenderung mendapat respons yang positif karena memberikan manfaat atau inspirasi. Orang-orang yang mengikuti personal branding seseorang biasanya tertarik dengan cerita dan wawasan yang dibagikan, bukan sekadar ingin melihat kehidupan glamor mereka.
Bahkan, jika ada kritik, biasanya kritik tersebut lebih ke arah saran yang membangun, bukan sekadar sindiran atau kecemburuan.
4. Dampak jangka panjang

Flexing mungkin bisa memberikan kepuasan instan karena mendapat perhatian dan pujian dalam waktu singkat, tapi dampaknya sering kali tidak bertahan lama. Orang yang terlalu sering flexing biasanya akan kehilangan kredibilitas karena dianggap tidak punya sesuatu yang benar-benar berarti untuk ditawarkan.
Bahkan, ada risiko besar jika gaya hidup yang dipamerkan ternyata gak sesuai dengan kenyataan, sehingga bisa membuat reputasi seseorang runtuh dalam sekejap.
Sebaliknya, personal branding punya dampak jangka panjang yang lebih baik karena membangun kepercayaan dan otoritas dalam bidang tertentu. Orang yang sukses membangun personal branding akan lebih mudah mendapatkan peluang profesional, baik itu dalam bentuk pekerjaan, kolaborasi, atau bisnis.
Mereka juga lebih dihormati karena dikenal sebagai seseorang yang punya keahlian dan pengalaman nyata, bukan sekadar pamer gaya hidup.
5. Cara penyampaian

Perbedaan lain yang cukup mencolok ada di cara seseorang menyampaikan sesuatu di media sosial atau platform lain. Flexing biasanya menggunakan gaya yang lebih langsung, mencolok, dan terkesan memaksakan agar terlihat mengesankan.
Misalnya, seseorang yang sering memamerkan jumlah uang yang ia hasilkan tanpa ada konteks yang jelas atau menunjukkan barang-barang mahal tanpa ada relevansi dengan bidang yang ia geluti.
Sedangkan personal branding lebih natural dan otentik. Seseorang yang membangun personal branding akan lebih banyak berbicara tentang pengalaman pribadi yang relevan dengan bidangnya dan menyampaikannya dengan cara yang lebih edukatif atau inspiratif.
Alih-alih hanya menunjukkan hasil, mereka akan berbagi cerita dan pelajaran berharga yang bisa diambil oleh orang lain. Cara ini membuat personal branding terasa lebih jujur dan relatable bagi audiens.
Flexing dan personal branding memang sekilas terlihat mirip, tapi sebenarnya punya perbedaan yang sangat jelas. Jika kamu ingin dikenal sebagai seseorang yang punya pengaruh positif dan kredibilitas yang kuat, fokuslah membangun personal branding yang autentik.
Jangan terjebak dalam kebiasaan flexing yang mungkin terlihat menarik di awal, tapi bisa merusak reputasi dalam jangka panjang. Karena pada akhirnya, yang paling dihargai bukanlah seberapa banyak yang kamu miliki, tapi seberapa besar manfaat yang bisa kamu berikan untuk orang lain.