Sutan Sjahrir dan Wim Schermerhorn sedang menyusun Perundingan Linggarjati (commons.wikimedia.org/IPPHOS)
Saat merencanakan perundingan, Soekarno-Hatta sempat mengusulkan agar perundingan dilaksanakan di Yogyakarta yang saat itu merupakan Ibu Kota Sementara. Namun, Belanda menolak dan ingin agar pertemuan untuk membahas kesepakatan nasib Indonesia dilangsungkan di Jakarta, yang kala itu adalah daerah kekuasaan Belanda.
Lalu, Maria Ulfah Santoso menyarankan Linggarjati sebagai lokasi perundingan kepada Sutan Sjahrir dengan disertai jaminan dari sisi keamanan, sebagaimana disebut pada keterangan foto Maria Ulfah di Gedung Linggarjati. Bagi yang belum tahu, Maria Ulfah adalah putri mantan Bupati Kuningan R Mohamad Ahmad (periode 1921-1940).
Usulan tersebut bukan tanpa alasan. Hal itu karena residen dan bupati Cirebon yang kala itu menjabat adalah anggota Partai Sosialis, sehingga termasuk 'anak buah' Sutan Sjahrir.
Sebagaimana diketahui, selain pendiri Partai Sosialis, Sutan Sjahrir pada era Soekarno juga menjabat sebagai Perdana Menteri. Ia mendapat tugas untuk mewakili Indonesia atau menjadi ketua pada Perundingan Linggarjati dengan Belanda.
Lokasi perundingan di Linggarjati pun disepakati pihak Indonesia dan Belanda. Selama perundingan, Gedung Syahrir dihuni oleh para tokoh Indonesia seperti Sjahrir, Mohamad Roem, Agus Salim, dan lainnya sebagai tempat rapat pasal-pasal yang akan diajukan ke perundingan. Penyusunan naskah liputan yang akan dikabarkan ke dunia internasional oleh wartawan juga ikut dilakukan di Gedung Syahrir.
Sementara Lord Killearn dan delegasi dari pihak Belanda yang dipimpin Prof. Schermerhorn menguhuni Gedung Perundingan Linggarjati.